PERPAJAKAN 1
Nama Kelompok:
Ali Suprapto 1095111188
Andie Zainurrokhman 1095111230
Abdul Khafid 1095111231
Ahmad Fahrudin 1095111232
UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA
2010/ 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh pribadi atau badan. Dasar hukum pemungutan BPHTB di Indonesia adalah Undang- undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan undang- undang Nomor 20 Tahun 2000.
BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, baik yang diperoleh karena pemindahan hak maupun karena perolehan hak baru dari pemerintah. Dengan demikian yang menjadi obyek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pemindahan hak merupakan suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi antara orang pribadi atau badan dengan orang pribadi atau badan lain yang mengakibatkan hak atas tanah dan bangunan beralih dari pemilik lama kepada pihak lain. Perolehan hak baru dari pemerintah merupakan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang diperoleh dari Negara ( pemerintah), baik karena kelanjutan pelepasan hak maupun di luar pelepasan hak.
Sesuai dengan pasal 33 ayat ( 3) Undang- undang Dasar 1945, bumi, air,dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, di samping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BAB II
PEMBAHASAN
OBJEK PAJAK
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi:
Pemindahan hak karena:
Jual beli;
Tukar-menukar;
Hibah;
Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia;
Waris;
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut;
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama;
Penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang;
Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut;
Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung;
Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut;
Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama;
Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
Pemberian hak baru karena:
Kelanjutan pelepasan hak
Yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak;
Di luar pelepasan hak
Yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Objek pajak yang diperoleh karena waris dan hibah wasiat pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 111 Tahun 2000; Objek pajak yang diperoleh karena pemberian hak pengelolaan pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dengan PP Nomor 112 Tahun 2000;
Termasuk dalam Kategori Hak atas Tanah meliputi:
Hak milik
Yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;
Hak guna usaha (HGU)
Yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;
Hak guna bangunan (HGB)
Yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Hak pakai
Yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak milik atas satuan rumah susun
Yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
Hak pengelolaan
Yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB:
Objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
Objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf;
Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Subjek BPHTB
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.
DASAR PENGENAAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK
Dasar pengenaan BPHTB
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu
Jual beli adalah harga transaksi;
Tukar-menukar adalah nilai pasar;
Hibah adalah nilai pasar;
Hibah wasiat adalah nilai pasar;
Waris adalah nilai pasar;
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
Peleburan usaha adalah nilai pasar;
Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
Hadiah adalah nilai pasar;
Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Dalam hal NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah NJOP PBB. Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
1.Yang boleh dikurangkan dalam penghitungan BPHTB
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP diberikan untuk setiap perolehan hak sebagai pengurang penghitungan BPHTB terutang.
2.Besarnya NPOPTKP
NPOPTKP ditetapkan secara regional (setiap kabupaten/kota) paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP regional paling banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan mempertimbangkan pendapat Pemda setempat. Ketentuan besarnya NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 113 Tahun 2000.
3.Cara menghitung BPHTB terutang
BPHTB terutang = 5 % x NPOP Kena Pajak;
NPOP Kena Pajak = NPOP – NPOPTKP.
SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG
1. Saat yang menentukan pajak terutang atas perolehan Hak ata Tanah dan atau Bangunan untuk:
Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanginya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris;
Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang;
Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
2. Tempat BPHTB terutang adalah wilayah:
Kabupaten Daerah Tingkat II, atau
Kotamadya Daerah Tingka II, atau
Propinsi Daerah Tingkat I untuk kota yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
PEMBAYARAN, PENETAPAN, DAN PENAGIHAN
Sistem yang dipakai sebagai dasar pemungutan BPHTB
Sistem self assessment, dimana Wajib Pajak membayar BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.
Cara membayar BPHTB
BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB).
Penerbitan SKBKB
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah BPHTB yang terutang kurang dibayar.
Besarnya BPHTB terutang dalam SKBKB
BPHTB terutang dalam SKBKB adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya BPHTB sampai dengan diterbitkannya SKBKB dimaksud.
Penerbitan SKBKBT
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah BPHTB yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB.
Besarnya BPHTB terutang dalam SKBKBT
BPHTB terutang dalam SKBKBT adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
STB diterbitkan
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB) diterbitkan apabila : a. BPHTB yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b. Dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran BPHTB sebagai akibat
salah tulis dan atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.
Besarnya BPHTB terutang dalam STB
BPHTB terutang dalam STB akibat tidak atau kurang dibayar dan akibat salah tulis dan atau hitung adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya BPHTB.
Kedudukan STB dalam proses penagihan BPHTB
STB mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa.
Dasar penagihan BPHTB
Dasar penagihan BPHTB adalah SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah. Tata cara penagihan BPHTB diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Jangka waktu pelunasan SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah.
BPHTB terutang dalam SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak. Apabila sampai dengan jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud tidak atau kurang dibayar, dapat ditagih dengan Surat Paksa, yaitu surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mempunyai kekuatan sama dengan putusan pengadilan (parate executie)
KEBERATAN, BANDING, DAN PENGURANGAN
1.Yang dapat diajukan permohonan keberatan BPHTB
Yang dapat diajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak adalah:
SKBKB
Yaitu surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah BPHTB terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;
SKBKBT
Yaitu surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah BPHTB yang telah ditetapkan;
SKBLB
Yaitu surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran BPHTB karena jumlah BPHTB yang telah dibayar lebih besar daripada BPHTB yang seharusnya terutang; d. SKBN, yaitu surat ketetapan yang menentukan jumlah BPHTB yang terutang sama besarnya dengan jumlah BPHTB yang dibayar.
2.Tata cara permohonan keberatan BPHTB
Membuat permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala KPPBB dengan mengemukakan jumlah BPHTB yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang jelas, yaitu didukung dengan data atau bukti bahwa jumlah BPHTB yang terutang atau lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar;
Menyampaikan permohonan secara lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SKBKB, SKBKBT, SKBLB, atau SKBN; kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
Melampirkan foto kopi sebagai berikut:
Fotocopy SSB
Asli SKBKB/SKBKBT/SKBLB/SKBN
Fotocopy Akta/Risalah Lelang/Surat Keputusan Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim
Fotocopy KTP/ Paspor / KK /identitas lain.
Permohonan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan, Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
3.Jangka waktu penyelesaian permohonan keberatan BPHTB
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Permohonan Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
4.Yang dapat disampaikan oleh Wajib Pajak sebelum keputusan keberatan BPHTB diterbitkan
Sebelum surat keputusan keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
5. Bentuk keputusan keberatan
Keputusan Keberatan dapat berupa :
Menerima seluruhnya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan terbukti kebenarannya.
Menerima sebagian, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan sebagian terbukti kebenarannya.
Menolak, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan tidak terbukti kebenarannya.
Menambah jumlah pajaknya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan, mengakibatkan peningkatan jumlah BPHTB-nya.
6.Yang dapat dilakukan Wajib Pajak jika permohonan keberatannya ditolak
Wajib Pajak yang keberatannya ditolak dapat mengajukan banding ke Badan Pengadilan Pajak (BPP).
Permohonan dimaksud diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
7.Bentuk putusan Banding
Putusan Banding dapat berupa :
Menolak;
Mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
Menambah pajak yang harus dibayar;
Tidak dapat diterima;
8.Sifat Putusan Banding
Putusan Banding oleh BPP bukan merupakan putusan final dan dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
9.Jika Putusan Banding menerima sebagian atau seluruhnya
Apabila putusan banding menerima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran BPHTB sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
10.Kepada siapa pengurangan BPHTB dapat diberikan
Pengurangan BPHTB dapat diberikan Wajib Pajak melalui permohonan karena:
Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek BPHTB, atau
Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, atau
Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan.
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
1. Kelebihan pembayaran BPHTB terjadi dalam hal :
a. BPHTB yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang;
b.BPHTB yang dibayar tidak seharusnya terutang;
c. Permohonan pengurangan dikabulkan;
d. Pengajuan keberatan atas ketetapan BPHTB dikabulkan seluruhnya atau sebagian;
e. Permohonan banding terhadap keputusan keberatan dikabulkan seluruhnya atau sebagian;
f. Perubahan peraturan.
2. Perlakuan atas kelebihan pembayaran BPHTB
Kelebihan Pembayaran PBB dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak (restitusi), diperhitungkan dengan utang pajak lainnya, atau disumbangkan kepada Negara.
3. Jangka waktu maksimal KPPBB harus memberikan jawaban atas surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dimaksud
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap dari Wajib Pajak. Apabila dalam jangka waktu tersebut surat keputusan tidak diterbitkan maka permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan serta Kepala KPPBB harus menerbitkan SKBLB dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
4. Bentuk Surat Keputusan yang dapat diterbitkan atas pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan (sederhana dan lapangan) menerbitkan:
SKBLB, apabila jumlah BPHTB yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah BPHTB yang terutang atau dilakukan pembayaran BPHTB yang tidak seharusnya terutang;
SKBN, apabila jumlah BPHTB yang dibayar sama dengan jumlah BPHTB yang terutang;
SKBKB, apabila jumlah BPHTB yang dibayar ternyata kurang dari jumlah BPHTB yang seharusnya terutang.
5. Pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB
Pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKBLB, yaitu dengan diterbitkannya Surat Perintah Membayar Kelebihan BPHTB (SPMKB) oleh Kepala KPPBB. Dalam hal Kepala KPPBB terlambat menerbitkan SPMKB, maka Wajib Pajak diberikan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan sampai dengan diterbitkannya SPMKB dimaksud. .
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN BPHTB
Pengelolaan hasil penerimaan BPHTB
Hasil penerimaan BPHTB dibagi dengan perimbangan sebagai berikut :
20 % (duapuluh persen) untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dikembalikan lagi secara merata ke setiap kabupaten/kota
16 % (enambelas persen) untuk propinsi;
64 % (enampuluh empat persen) untuk kabupaten/kota.
KETENTUAN BAGI PEJABAT
1. Pejabat dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan, menandatangani risalah lelang, menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah (SKPH), mendaftar peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB.
Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB.
Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan SKPH hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB.
Pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB.
2. Sanksi bagi PPAT/Notaris atau Pejabat Lelang Negara yang menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan/risalah lelang tanpa adanya bukti pembayaran berupa SSB
Dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
3. Kewajiban PPAT/Notaris atau Pejabat Lelang Negara
Melaporkan pembuatan akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak (KPPBB setempat) selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
4. Sanksi bagi PPAT/Notaris yang tidak melaporkan pembuatan akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ke KPPBB
Dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
5. Sanksi bagi Pejabat Pertanahan yang menandatangani dan menerbitkan SKPH atau mendaftar peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat tanpa adanya bukti pembayaran berupa SSB
Dikenakan sanksi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
6. Sanksi bagi Kepala Kantor Lelang Negara yang tidak melaporkan pembuatan risalah lelang ke KPPBB
Dikenakan sanksi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
BAB III
KESIMPULAN
Memperhatikan uraian diatas, sudah sewajarnya bila pemilik atau yang memperoleh hak atas Tanah dan Bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperoleh kepada pemerintah melalui pembayaran pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pemungutannya/ pengenaannya harus tetap memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah dan masyarakat berpenghasilan rendah yang diwujudkan dalam nilai perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak dikenakan pajak.
Referensi:
Mardiasmo. 2003. Perpajakan, edisi Revisi. Yogyakarta: Andi
Siahaan, Marihot P. 2010.Hukum Pajak Elementer, edisi pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu
Waluyo. 2006. Perpajakan Indonesia, edisi enam ,jilid dua.Jakarta: Salemba Empat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar